MY ROMAN
THE MYSTERY
OF THE WITCH
The Conflict
Kejadian Dipagi Hari
Pagi itu hawa begitu segar dan
dingin. Kabut pagi yang tebal masih menyelimuti sekitar pekarangan rumah.
Kicauan burung terdengan merdu, bunga yang mekar menghiasi sekitarnya. Embun
pagi pun bertetesan dari atas daun menandakan pagi yang berkedip dan matahari
yang mulai memperlihatkan pesonanya.
Seusai mandi
pagi, aku bersiap untuk pergi ke sekolah, tak lupa aku menyiapkan beberapa buku
pelajaran dan alat tulis lalu memasukannya ke dalam tas berwarna biru yang
biasa ku pakai saat bersekolah.
Aku keluar
dari kamar dan segera menutup rapat-rapat pintu kamar lalu menuruni tangga
sambil membawa tas biru milikku menuju ruang makan.
Terlihat Mr.
Tommy yang bukan lain adalah ayahku, Mrs. Vellina ibuku dan Luke saudara
laki-lakiku sudah menunggu di meja makan dengan raut wajah yang terlihat tidak
sabaran. Semuanya berkumpul dan aku baru sadar kalau ini keluarga besar Collet
maksudnya keluargaku semuanya tampak berbeda, mungkin karna aku jarang menghitung
jumlah manusia yang berada didalam rumahku.
Terlintas
dalam pikiranku untuk menyapa mereka semua walaupun pasti mereka takan menyahut
“hai….”
“Eine?”
sahut Mrs.Vellina tersenyum sambil menatapku kebingungan dan tidak percaya. Ku
pikir ia pasti akan berkomentar sedikit padaku yang bangun lebih pagi dari
biasanya.
“Ya?” aku
membalas tatapannya sambil berjalan dan mengambil sebuah mangkuk dan sekotak
sereal, lalu menuangkan susu vanilla beserta sereal tadi kedalam mangkuk.
“Tidak.
Hanya kau bangun 30 menit lebih awal dari biasanya, biasanya kau bangun jam
6.30 pagi.” Sudahku duga ia akan membicarakan itu.
“Ia hanya
bangun sedikit lebih awal.” Ucap Luke meremehkanku. Aku memang tidak begitu
akur dengannya. Bukan karena aku membencinya, aku hanya tidak menyukainya.
Kadang ia terlalu jauh mengusik kehidupanku.
“Bukankah
memang aku yang lebih sering mendahuluimu?” gerutukku dengan nada kesal.
“Tidak
juga!”
“Jangan
pernah mengelak” Kami pun memulai perdebatan yang membuat seisi rumah di pagi
hari itu berisik dan heboh.
“kau----kau
menantangku?” balasnya dengan nada parau sambil menatapku sinis.
“kau tidak
menyadari? Sudah sejak lama aku menantangmu! Kau mau apa?”. Aku membalas
tatapannya sambil mengernyit, tertawa memamerkan gigiku, tawa rendah tetapi
puas. Terlintas dipikiranku untuk mencoba memancing-mancing amarahnya. Aku
tidak peduli siapa Luke, kakak ku atau bukan pokoknya aku tidak peduli
dengannya.
Namun
usahaku benar-benar gagal dan berantakan, usahaku berhasil dihentikan oleh Mom.
“Cukup! Kalian ini seperti anak kucing dan anak anjing yang sedang beradu
mulut.” Mom kemungkinan kecewa terhadap kami, sambil menahan amarah yang
menggeliat dalam dirinya, ia pun melanjutkan perkatannnya “Eine, seharusnya kau
jangan melawan.”
“Dengar sendiri
kan? Seharusnya kau jangan melawanku!” Luke menyeringan memperlihatkan giginya
yang putih. Kali ini aku begitu membencinya sampai-sampai dadaku sesak menahan
amarah yang membara.
“Dan ini
berlaku juga bagimu Luke!” Mom berdeham, ia sepertinya marah--- sangat marah
kepada kami berdua. “Oh sudahlah, aku hanya ingin kalian berdamai aku tak ingin
kalian terus menerus bertengkar. Itu saja.” Mom berhenti menatap kami, ia
terlihat benar-benar pasrah terhadap kami.
Oh Mom,
jangan lagi. Jangan seperti ini, kami tak suka dibiarkan bertengkar. Kami ingin
berbaikan kami ingin di lerai dan diperhatikan, ya kami tau Mom lelah. Oh Ya
Tuhan….. aku janji, tidak akan pernah bertengkar dengan Luke lagi. Aku berjanji
akan berdamai dengannya dan tidak akan memancing amarahnya lagi, Aku janji.
Andai saja
aku bisa berkata seperti itu dengan mudah, tapi aku tak bisa. Itu perjanjian
yang terlalu berat dan aku akan berpikir dua atau 100 kali untuk menjanjikan
itu. Aku tak berdaya dan hanya bisa mengungkapkannya di dalam hati. “Maafkan
aku Mom.” aku hanya bisa mengucapkan kalimat itu dan tidak ada lagi yang bisa
aku lakukan.
Aku melirik
mata Luke dan mengarahkannya ke tempat dimana Mom duduk dan sedikit mengawasi.
Mulutku terkatup-katup sambil berbicara kecil kepada Luke namun hampir tak bisa
didengar. Ku lihat ia mengerti maksudku, menyuruhnya meminta maaf juga kepada
Mom. Tak lama kemudian terdengar suara yang lembut dan tulus keluar dari bibir
Luke “Maafkan aku juga Mom.”
Semuanya
kembali seperti semula, keheningan menyelimuti kami di ruang makan. Saat aku
sadar bahwa dari tadi Dad tidak sedikitpun berkomentar atas pertikaian yang
terjadi. Meski begitu Dad pasti punya pemikiran yang sama dengan Mom, bahwa ia
pun tidak ingin kami bertengkar lagi.
Setelah
selesai makan , Dad pergi mendahului kami “Selamat tinggal, sampai bertemu
nanti malam.” Ia segera menggenggam tas kerjanya yang berisi berkas-berkas
penting dan membawanya melewati pintu. “krek.” Pintu baru saja ditutup
rapat-rapat. Terdengar geruman suara mobil menyala di garasi. Dad baru saja
mengeluarkan mobil Mercedes-Benz warna hitam yang begitu cerah, terlihat begitu
mengkilap dan bersih. Lalu ia pun segera pergi melaju mengendarai mobil itu.
Lima menit kemudian kami bertiga pun bersiap-siap untuk bergi, kami menggunakan mobil Jazz berwarna merah milik Luke.
Aku segera memasang dan mengikatkan tali sepatuku. Karena tergesa-gesa aku hanya bisa menyeret tas kesayanganku dan menaruhnya didalam mobil.
Seperti biasa, Mom ikut bersama kami untuk sampai di kantor. Tadinya Dad mengusulkan akan membelikan Mom mobil baru, tetapi ia menolak usulannya mentah-mentah. Ia takut berkendara sendirian, dan lagi pula ia juga belum fasih berkendara. Ia lebih mengandalkan Taxi atau lebil baik menunggu Luke menjemputnya.
Dan… Pagi ini pun aku tidak diijinkan mengendarai mobil Jazz berwarna merah itu, hanya karena barusan kami ribut.
“Sial.” Ucapku sambil mengepalkan telapak tangan kananku.
Terkadang aku sering menggoda Luke agar aku yang mengendalikan mobilnya. Dan bukan masalah bagi kami ketika para polisi menghadang laju mobil ini, aku dan Luke hanya tinggal bersegera bertukar tempat sebelum para polisi memaksa kami membukakan kaca mobil untuknya. Jika polisi itu meminta untuk memperlihatkan surat-surat penting berkendara, kami sudah cukup tenang karena Luke hanya tinggal menyodorkan surat-surat penting itu. Ide brilian bukan? Tetapi sayangnya memang hari ini aku benar-benar malas menggodanya lagi.
Oh ya, aku juga bisa mengendarai mobil, sejak aku SMP. Sam yang bukan lain adalah kakakku yang paling tua diantara kami, umurnya sekitar 24 tahun dan sudah menikah. Ya, Sam mengajariku cara mengendalikan mobil. Cukup menyenangkan berada di dekatnya, walau sedikit menyebalkan juga sih. Sam selalu membuatku kelelahan dengan semua celotehannya. Tapi yang penting Sam telah mengajarkanku mengendalikan mobil. Yeah.. begitulah singkat ceritanya.
Didalam mobil sedikit hening. Luke sedang berkonsentrasi dan memusatkan pandangannya kearah jalanan, Mom sedang sibuk melihat-lihat catatan kecilnya yang berwarna biru. Dan aku sendiri sibuk bermain ponsel kesayanganku, hanya sedikit membuka situs jejaring social yang kupunya sambil membuka tab google.
Aku menuliskan beberapa kata pada kolom Pencarian, “Penyihir”, “Paranormal”, “Vampir”, “hantu”, dan itu beberapa situs yang aku buka di ponselku. Aku sedikit terpaku pada artikel tentang penyihir dan vampire. Ini menarik, menyeramkan dan menggelitikku untuk terus membacanya.
Aku sedikit menceritakan hasil ujianku yang cukup ‘Memuaskan’. Mungkin Mom akan senang mendengarnya. “Kau tau berapa nilai rata-rata hasil ujianku?” kali ini aku mengajukan pertanyaan itu pada Luke.
“Seluruhnya atau hanya beberapa?”
“Seluruhnya!” Aku mempertegas ucapanku dan bersegera menatap Luke dengan ekspresi marah.
“ Aku pikir hanya beberapa. Seperti biasa bukan? Nilaimu pasti jelek.” Luke tertawa puas sambil menggertakan giginya. Semacam ejekan bagiku.
“Tidak juga, jangan bertingkah sok tau Luke.” Aku membalas perkataanya, berharap ia akan tersinggung. Aku heran, sepertinya dimata Luke aku lah orang yang paling sulit ia percaya. Ia jarang--eh malah tidak pernah mempercayaiku sebelumnya, hanya sekali-sekali. Walaupun begitu kali ini aku berharap Luke mempercayaiku dengan penuh keikhlasan.
“Jadi berapa?”
“Nilai rata-rata 90, bukankah itu sedikit memuaskan?” aku malah balik bertanya.
“Oh, itu bagus.” Jawabnya dengan muka datar tanpa ekspresi.
Aku memandang ke arah Mom, dan mulai bertanya-tanya apakah Mom juga bangga dengan hasil Ujianku? Semoga saja ia sependapat dengan Luke. Aku menaruh ketegangan dalam raut wajahku dan mulai berpikir kemungkinan besar pujian dari Mom akan di taruh sepenuhnya padaku, dan mustahil jika Mom kecewa dengan hasil ujianku yang memuaskan ini.
“hmm… bagaimana menurut Mom? Hasil ujianku meningkat drastis dari pada sebelumnya.” Aku menunggu jawabannya dengan kepala yang sedikit tertunduk, sambil memutar-mutar ponselku dengan sengaja. Aku menampakan rasa ketenangan daripada kecemasan, sedikit menutup mata sambil sedikit berfantasi di alam bawah sadarku.
“Good Eine.” Kata-katanya meyentuh hati, terdengar lembut dan begitu tulus merespon kata-kataku. Lalu ia pun melanjutkan sebagian dari pujiannya itu “Aku bangga, sangat bangga padamu Eine. Semakin dewasa pemikiranmu selalu lebih baik.” Suaranya lembut terlihat mendukung, membuatku semakin bersemangat menjalanin pagi itu. Telapak tangannya terangkat berusaha menaruhnya di atas kepalaku, lalu membelai rambutku yang panjang berulang-ulang hingga membuat aku tak sadar telah menyandarkan kepalaku dibahunya.
Luke tersenyum, menyeringai dan sedikit malu-malu. Mungkin karena melihat kedekatanku dengan Mom. Aku meliriknya dari kaca mobil walaupun terlihat samar-samar.
“Aku mungkin terharu melihat momen ini.” gumam Luke.
“Ya, kau harus Luke.” Balasku. Luke memang harus sekali-sekali menangis melihat drama antara anak dan orang tua ini walau yang sebenarnya memang bersungguh-sungguh. Sekalipun aku belum pernah melihatnya terharu, menangis tersedu-seda dalam keadaan sekarat sekalipun. Jadi mungkin aku harus membuatnya menangis kali ini. Namun aku mungkin gagal kali ini karena Luke hanya member sedikit respon.
Luke tersenyum terlihat sangat tulus, matanya bersinar bagai bintang yang bercahaya dan sekali kali berkedip. Aku menatap matanya, berniat untuk memperingatkannya bahwa aku dan dia belum berdamai. Tetapi waktu terus mengikis permusuhan kami, hingga akhirnya tanpa sadar aku dan Luke telah berdamai dengan sendirinya. Menakjubkan pikirku.
Setelah cukup berpikir, aku sadar masih berada didalam mobil jazz berwarna merah itu. Sungguh gila, lama-lama berada di dalam mobil ini cukup membuatku mual.
Sekarang di dalam mobil ini pusat perhatianku hanya tertuju pada AC, dan ternyata ya ampun Luke lupa menyalakan AC dan menaruh pewangi dalam mobilnya sendiri. Ku pikir betapa bodohnya Luke sampai Ia lupa menyalakan AC. Padahal ia tau aku tidak tahan berdiam lama-lama di dalam mobil tanpa AC.
Sekali lagi aku menatapnya dengan seksama, memperlihatkan ekspresi yang berapi-api.
Belum setengah detik berlalu, Luke mengejutkan seisi mobil dan berkata “Aku lupa menyalakan AC, maafkan aku.” Sepertinya Luke menjawab tatapanku tadi dengan baik dan benar, aku mulai salut padanya.
Sekitar 30 menit didalam mobil, perjalanan Mom pun berakhir. Maksudku ia sudah sampai tepat di depan halaman kantornya.
Aku mendengar suara gagang pintu mobil yang dibuka, lalu Mom turun dari mobil dengan agak santai dan menutupnya kembali dengan perlahan.
Lalu mom menengok ke arah kaca mobil sambil berkata “dah anak
anak, sampai jumpa nanti sore.” Lalu melambai-lambaikan tangannya perlahan ke
arah kami sambil tersenyum.
Luke lalu
mulai menjalankan mobilnya, perlahan kecepatannya bertambah. Ada untungnya juga
untukku karena lumayan memperkecil peluang untuk aku terlambat kesekolah.
Tak lama
kemudian, bangunan sekolahpun tampak terlihat sedikit demi sedikit hingga saat
ini ternyata aku sudah mulai sampai dipekarangan sekolah. Tak sengaja aku
melihat lihat sekeliling sekolah, dan mataku mulai tertuju pada seorang cowok
yang sedang turun dari mobilnya.
Aku terus
memperhatikan nya. Dia sangat tampan, badannya tinggi hampir seukuran dengan
Luke, kulitnya terlihat mulus dan putih bersinar
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda